Jakarta, CNBC Indonesia – Saham Asia-Pasifik membuka perdagangan tren mixed pada Kamis (18/1/2024) setelah kemarin melemah di tengah memburuknya sentimen pasar.
Hingga pukul 08:30 WIB, Nikkei 225 Jepang menguat 0,34%, Hang Seng Hong Kong menguat 0,16%, dan KOSPI Korea Selatan menguat 0,14%.
Sementara Shanghai Composite China turun 0,39%, Straits Times Singapura terkoreksi 0,25%, dan ASX 200 Australia turun 0,97%.
Kemarin, saham-saham Asia Pasifik ditutup melemah karena data pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada akhir tahun 2023 tidak sesuai ekspektasi pasar dan tentunya lebih rendah dari perkiraan.
NBS China melaporkan produk domestik bruto (PDB) Tiongkok hanya tumbuh sebesar 5,2% pada kuartal keempat tahun 2023, di bawah ekspektasi pasar yang memperkirakan pertumbuhan sebesar 5,3%.
Ini merupakan salah satu tingkat pertumbuhan tahunan Tiongkok yang paling lemah dalam lebih dari tiga dekade. Tiongkok sendiri saat ini masih bergelut dengan krisis aset yang melumpuhkan, lesunya konsumsi, dan gejolak global.
Hal ini jelas menjadi kabar buruk juga bagi Asia, karena Tiongkok merupakan negara dengan perekonomian terbesar di Asia, sehingga stagnannya perekonomian negara tirai bambu tersebut tentunya dapat berdampak pada perekonomian di kawasan Asia-Pasifik.
Di sisi lain, pasar saham Asia Pasifik cenderung berubah seiring koreksi yang masih berlangsung di bursa saham Amerika (AS), Wall Street kemarin.
Indeks Dow Jones (DJI) ditutup melemah 0,25%, S&P 500 terkoreksi 0,56%, dan Nasdaq Composite melemah 0,59%.
Koreksi pasar saham AS semakin memperpanjang tren bearish yang terjadi sejak perdagangan Selasa atau Rabu dini hari waktu Indonesia. Pasalnya, terjadi peningkatan penjualan di AS yang mengalahkan perkiraan.
Penjualan ritel AS naik 0,6% bulan ke bulan di bulan Desember 2023, menurut laporan dari Departemen Perdagangan AS(bulan/bulan/mtm). Nilai tersebut jauh di bawah perkiraan konsensus surveiReutershanya tumbuh 0,4%,
Peningkatan penjualan eceran ini berkorelasi dengan inflasi yang diperkirakan akan terus meningkat.
Alhasil, ekspektasi pelaku pasar saat ini terhadap penurunan suku bunga oleh bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) pada sesi Maret mendatang turun menjadi 55%. Meskipun dalam beberapa hari terakhir terlihat peluangnya di atas 60%, menurut data yang dihitung oleh FedWatch Tool CME Group.
Hal ini konsisten dengan prospek pelonggaran kebijakan Fed yang memakan waktu lebih lama dari perkiraan. Mulai dariReuters,Stuart Cole, kepala ekonom di Equiti Capital di London, mengatakan rilis data ekonomi yang panas akan menimbulkan keraguan.
“Bagi The Fed, angka-angka ini menambah keraguan terhadap kemungkinan penurunan suku bunga pertama di bulan Maret, dan kemungkinan penurunan tersebut semakin berkurang seiring dengan setiap rilis data yang kami dapatkan,” kata Stuart.
Setelah rilis data penjualan ritel, pendapatan (menghasilkan) juga terpantau memperkuat benchmark obligasi Treasury AS bertenor 10 tahun menjadi lebih dari 4%. Kenaikan menghasilkan Hal ini menunjukkan investor mulai menjual obligasi AS seiring turunnya harga.
Obligasi yang dilepas investor akan meningkatkan peredaran dolar AS sehingga nilai indeks dolar AS (DXY) pun meningkat. Selama dua hari berturut-turut, DXY menguat hampir 1% ke 103,38.
Penguatan dolar AS mampu menekan pergerakan pasar saham.Pada akhir pagi tadi, beberapa saham berkapitalisasi besar terpantau terkoreksi. Saham Tesla turun 1,98%, saham Amazon turun 0,95% dan Alphabet (Google) turun 0,72%.
Saham pembuat perangkat pintar Apple juga turun 0,52%, setelah itu saham perusahaan sistem operasi Microsoft dan saham pionir VGA Nvidia juga terkoreksi cukup dalam.
RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
Artikel lain
Mayoritas Pasar Saham Asia Dibuka Cerah, Investor Khawatir Pelemahan?
(chd/chd)
Quoted From Many Source